Drs. H. Yosman
Amiruddin, SQ, lahir di Pekanbaru, 20 Agustus 1952. Sebelum kuliah di PTIQ
Jakarta 1971, Yosman adalah mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah
Cabang Pekanbaru, Riau. Baru tiga bulan ia masuk kampus IAIN, tiba-tiba ia ditawari
masuk kuliah di PTIQ Jakarta oleh pamannya, sebagai jatah Dewan Kurator. Ia menyambut
tawaran itu dengan gembira karena dua alasan:
Pertama,
ia akan kuliah di Ibukota Jakarta yang
pasti kampusnya mentereng. Kedua, ia akan naik pesawat yang pertama kali
dalam hidupnya.
Pada hari yang
telah ditentukan, sampailah Yoman di Jakarta dengan rasa penuh syukur. Dari
bandara, ia dijemput dan menginap di rumah pamannya. Esok harinya, ia diantar pamannya ke
kampus PTIQ
di Pasar Jumat.
Sesampainya di kampus, Yosman terperangah.
Bangunan bayangan yang dibuatnya dari Pekanbaru Riau
dengan gambar yang mewah itu seketika bubar berantakan. Ia seperti orang bingung,
ia seperti orang planga plongo, terheran-heran melihat keadaan kampus
waktu itu. Kampus yang
terletak di pinggiran kota Jakarta saat itu, ternyata tidak sementereng dalam
imajinasinya.
Setelah
diantar ke
bagian administrasi untuk pendaftaran, pamannya pulang
dan tinggallah ia sendiri dengan
rasa gundah. Setelah
resmi diterima, Yosman diberi selimut,
sprei dan dibawa petugas ke asrama. Sekali
lagi ia kaget, penerangan listrik saat itu masih menggunakan
mesin diesel dan hanya
akan dihidupkan menjelang waktu magrib dan dimatikan lagi setelah jam 22.00 WIB. Mulai saat itulah ia pasrah dan menerima apa saja yang akan diterima. Meski demikian, ia merasa terhibur karena ternyata di
sana ia mendapatkan makanan bergizi dan pakaian yang
dicucikan sampai diseterika
setiap hari secara gratis.
Pada hari
kedua, Yosman
pergi ke
Bagian Pengajaran. Di sana
ia ditempatkan di Fakuktas Ushuluddin. Di sana juga ia memperoleh daftar pelajaran dan sekaligus
buku-buku teksnya. Tentu saja ia menerima dengan senang hati. Meski semua mata
kuliah dianggap biasa, namun ada yang agak janggal waktu itu adalah mata kuliah
Tahfidz. Ia pun bertanya lebih detail mengenai Tahfidz ini. Rupanya mata kuliah
ini adalah mata kuliah menghafal Quran, dimana setiap tahunnya harus menghafal
enam
juz. Mendapatkan penjelasan itu, ia terhenyak,
apalagi ia datang terlambat
dua bulan saat masuk kuliah. Ia harus mengejar hafalan empat surah,
yaitu : Yaa Siin, Ad-Dukhaan, As-Sajadah dan Al-Mulk. Memang menghafal Quran
waktu itu tidaklah sepopuler saat ini, ia sangat jarang mendengar
orang hafal Quran. Mungkin
karena ia lulusan
PGA atau
bukan
santri dari pondok pesantren atau
bukan
juga dari kalangan keluarga alim ulama. Namun berkat dorongan dan harapan orang
tuanya, ia berusaha menjalani semua proses pembelajaran di PTIQ
dengan penuh semangat.
Hari-hari pertama di PTIQ dilalui Yosman dengan
linangan air mata karena beratnya pelajaran yang dihadapinya. Perkuliahan dilaksanakan sehari penuh,
mulai pagi, sore, hingga malam hari. Tidak ada baginya kesempatan untuk tidur siang. Namun ia merasa sangat beruntung karena mempunyai banyak teman yang memberikan dorongan,
semangat dan motivasi, meski sebagian
mereka juga memiliki
pengalaman yang hampir sama
dengannya.
Beberapa hari di asrama, Yosman terpaksa harus membeli lampu
teplok sebagaimana teman-temannya
yang lain. Lampu teplok ini akan dinyalakan apabila
mesin diesel listrik telah dimatikan untuk melanjutkan belajar. Waktu untuk belajar dan menghafal al-Quran yang
disediakan dengan lampu penerangan listrik diesel tidaklah cukup jika hanya
sampai pukul 22.00 WIB, lagi pula suara mesin diesel berisik sekali.
Setiap pagi sebelum sarapan, Yosman dan teman-temannya mengikuti senam yang
dipimpin oleh bapak Syarifuddin. Mereka
dibawa ke komplek Batan. Suasana
pagi di sana udaranya segar dan sejuk, rumah-rumah di sekitar
kampus sampai ke Batan dan kawasan Lebak Bulus masih rumah-rumah kampung. Masih
ada kebun, pohon duren juga banyak waktu
itu.
Setelah setahun berjalan, pada tahun 1972 terjadilah krisis di PTIQ
seiring dengan pergantian Menteri Agama dari KH. Moh. Dahlan kepada Menteri Agama yang
baru Dr. KH. Mukti Ali.
Sebelumnya, PTIQ berada di bawah
pengelolaan Yayasan Ihya' Ulumuddin,
yang didirikan pada masa Menteri Agama KH. Moh. Dahlan saat itu. Dengan
digantinya Menteri Agama, Yayasan
Ihya' Ulumuddin seperti "kehilangan" kekuatan untuk
mengampu dan mendanai PTIQ. Apa sebabnya Yosman dan teman-temannya tidak tahu persis. Mungkin karena perbedaan
kebijakan Mentri baru. Kemudian, muncullah
Yayasan Pendidikan Al Qur'an (YPA) yang ada di bawah naungan Pertamina. Bapak
Letjen Dr. Ibnu Sutowo sebagai Dirut Pertamina waktu itu sangat memperhatikan
PTIQ. Beliau terus mengambil alih pengelolaan dan pendanaan PTIQ dan
diangkatlah beliau sebagai Ketua Dewan Kurator, di antaranya Bapak Zainal Abidin yang
sekarang masih ada.
Sejak itulah tanpa Yosman dan mahasiswa PTIQ lainnya menyadari bahwa mereka
mempunyai orangtua baru, yaitu para petinggi Pertamina dan
konglomerat-konglomerat rekanan Pertamina. Kesadaran ini mereka rasakan pada
awalnya saat
ada acara selamatan di rumah bapak Ibnu Sutowo yang dihadiri oleh para petinggi
dan kolega Pertamina. Para mahasiswa
PTIQ
semua diundang untuk membaca doa selamatan. Peristiwa ini mendapat perhatian
para undangan yang hadir. Sejak itulah bila ada acara selamatan di mana saja, mereka diundang, sampai peresmian Hotel
Hilton di Senayan pun
mereka juga diundang. Sejak itu hampir
setiap bulan mereka
mendapat undangan dan sudah pasti ada saja oleh-oleh dan bingkisan yang mereka bawa pulang dan tak
ketinggalan amplopnya.
YPA ini luar biasa. Kehidupan para mahasiswa PTIQ terasa lebih mewah,
beberapa kali mereka
dibawa berwisata ke Cipanas, Cibodas, Puncak dan Pantai Pelabuhan Ratu. Para mahasiswa tahun pertama, pada
tahun 1973 dibawa keliling Pulau Jawa sampai ke Pulau Bali. Mereka dibawa dengan menggunakan bus
Pertamina, sebuah perjalanan yang mengasyikan.
Pada tahun 1975, sewaktu MTQ tingkat
nasional di Palembang, para mahasiswa
PTIQ
angkatan tahun 1971 dengan inisiatif sendiri mencari dana untuk dapat
menghadiri MTQ di Palembang. Mereka
membuat kertas kerja (proposal) dengan persetujuan Rektor PTIQ
lengkap dengan rincian biaya transportasi, konsumsi, penginapan dan lain-lain.
Setelah itu mereka mengajukan
kepada kalangan anggota Dewan Kurator. Baru pertama mereka ajukan yaitu kepada Bapak Syaiful,
beliau membaca dengan teliti sambil manggut-manggut, kemudian beliau menarik
pulpen dari saku bajunya dan tanpa mereka
duga
beliau melingkari dan menandatangani jumlah keseluruhan biaya yang mereka ajukan dengan penanya. Para mahasiswa yang melihatnya langsung memanjatkan syukur dan sangat
terharu, karena biaya yang sangat besar pada waktu itu bila hanya ditanggung oleh satu
orang. Alhamdulillah, Yosman dan
teman-temannya tidak lagi mengajukan kepada yang lainnya. Hal itu mereka laporkan kepada Ketua Yayasan
serta menfinformasikan tentang hari keberangkatan mereka.
Beberapa hari setelah itu, tanpa Yosman dan teman-temannya duga, Yayasan
memberitahu bahwa sesampainya di stasiun kereta api di Palembang, para mahasiswa PTIQ akan dijemput oleh bus
Pertamina dan akan dibawa ke guest house Pertamina di Plaju. Di sana mereka menginap selama di Palembang
berikut dengan angkutan busnya. Dapat dibayangkan berapa banyak kelebihan uang
anggaran dari pak Syaiful karena sebagian item anggaran sudah ditutup oleh
Pertamina Plaju. Alhamdulillah tidak putus-putusnya mereka bersyukur ke hadhirat Allah.
Yosman
menjalani perkuliahan di PTIQ dengan
penuh suka dan duka. Ia tidak dapat
membayangkan sebelumnya, meski hanya jebolan PGA, namun ia harus menghadapi pelajaran perkuliahan dengan membaca kitab
Arab gundul dan menghafal
Al-Quran.
Orang tua dan keluarga Yosman terus mendukung dan menguatkan dirinya agar
membulatkan tekad dan bekerja keras untuk terus maju. Ujian pada tingkat lima
(kalau sekarang istilahnya Semester Akhir) dengan beberapa mata kuliah yang her
(ujian ulang), Alhamdulillah dapat ia
selesaikan.
Akan tetapi dengan mata kuliah Tahfidz yang
harus diselesaikan secara lisan, Yosman
harus menghabiskan
banyak waktu. Pada masa yang sama, para
mahasiswa PTIQ angkatan '71 sudah harus hengkang dari
asrama di Pasar Jumat,
karena mahasiswa baru bertambah terus. Mereka yang masih tertinggal 12 orang disediakan rumah kayu dua kamar berlokasi di
Kampung Utan
Ciputat, persis di belakang IIQ dan tanah pondoknya pun tanah untuk IIQ juga. Makanan
harian mereka disuplai dari IIQ. Hampir setahun Yosman menyelesaikan ujian Tahfidz
langsung kepada guru besar Syekh Abdul Qadir. Akhirnya, perjuangan Yosman selesai dan pindah tempat tinggal
di rumah Pamannya.
Yosman masih
teringat Prof. Ibrahim Hossen pernah mengatakan bahwa PTIQ tidak mencetak
lulusan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Perkataan itu terus terngiang di telinganya.
Pada waktu itu sedang ada trend para mahasiswa PTIQ mengambil ujian untuk mendapatkan
sarjana muda di IAIN, dengan modal Ijazah IAIN tentu bisa melanjutkan kuliah
dimana saja. Tetapi ia tidak
ikut ujian persamaan di IAIN. Untuk diketahui, ijazah PTIQ belum diakui oleh
Departemen Agama dan lembaga-lembaga
pemerintah lainnya. Setelah selesai menjalani semua ujian di PTIQ dan dinyatakan
lulus, Yosman berpikir mau
melamar kerja di mana? Untuk berdagang tidak ada bakat, meski berdarah Minang. Nasib baik, ada
relasi keluarganya
mengajak bekerja. Sempat juga bekerja selama lima bulan dan namun ia merasa tidak ada masa depan. Ia mencoba melamar kerja pun tidak, mengingat ijazah yang
dikantongi hanyalah
dari PTIQ. Yosman
sudah menyerah terlebih dahulu.
Mengingat belum ada kejelasan bila akan
diadakannya wisuda, dan umurpun semakin bertambah tua, terpikirlah Yosman mencoba mengadu nasib di negara jiran Malaysia.
Kebetulah di sana ia ada
keluarga. Hubungan keluarga ini
cukup erat karena bila mereka datang ke Jakarta, Yosmanlah yang sering menjadi pemandunya dan mereka sering juga mengajaknya untuk datang ke Kuala Lumpur. Teringat
begitu, Yosman pun
menghubungi mereka dan memberitahu hasratnya
untuk mencoba nasib di sana. Keinginannya
disambut baik, begitu juga dengan keluarga. Semua dokumen Yosman siapkan. Sebelum berangkat, ia membaca buku tentang Malaysia dan sejarahnya
agar ia
punya gambaran bagaimana kondisi Negara Malaysia yang akan ia kunjungi. Tanpa memikirkan hari untuk
wisuda, Yosman terbang
ke Malaysia dengan penuh harapan.
Bulan Nopember 1979 Yosman terbang ke Malaysia dari Pekanbaru
ke Malaka. Pada waktu itu hubungan udara dari Indonesia ke Malaysia hanya tiga
yaitu dari Jakarta ke Kuala Lumpur, dari Medan ke Kuala Lumpur dan dari
Pekanbaru ke Malaka. Sesampainya di Malaka ia melihat suasana tak ubahnya seperti di Indonesia, baik
orang-orangnya, kendaraannya, makanan-makanannya. Terasa beda bila ia melakukan pembayaran dengan mata uang
lain yaitu Ringgit Malaysia. Dari Airport Malaka ia naik taxi ke Kuala Lumpur. Taxi antar
kotanya menggunakan sedan Mercedes Benz bisa muat empat orang penumpang. Pembayarannya
seperti naik travel di Indonesia, setiap penumpang dipungut bayaran dan di
antar ke alamat masing-masing. Jarak Melaka - Kuala Lumpur 160 km. Waktu itu di Malaysia belum ada
jalan tol, tapi jalannya lebar dan mulus.
Sepanjang perjalanan selama dua jam,
mulailah muncul pertanyaan di benak Yosman,
kira-kira apa yang akan ia
lakukan
di Malaysia nanti. Kiri kanan jalan banyak perkampungan dan kebun karet, kelapa
sawit belum populer waktu itu. Memasuki kota Kuala Lumpur tidak terlihat
bangunan-bangunan pencakar langit dan modern. Padahal waktu itu di Jakarta
sudah ada bangunan-bangunan tinggi dan sudah mempunyai jalan tol Jakarta-Ciawi.
Pokoknya Jakarta jauh lebih maju dan canggih dibandingkan Kuala Lumpur. Pada
waktu itu ia
merasa bangga menjadi orang Indonesia, karena waktu itu WNI yang berada di
Malaysia adalah kalangan elit, seperti para guru, dosen dan dokter yang waktu itu dibutuhkan Malaysia melalui program
G to G. Jadi setiap orang Indonesia dihormati,
mereka panggil kita "Bapak" atau "ibuk" untuk
wanita. Untuk bicara mereka berusaha menirukan logat Indonesia. Pada waktu itu
film layar lebar dan film drama TV banyak berasal dari Indonesia. Penyanyi dan
artis film Indonesia sangat mereka kenal. Kondisi Malaysia waktu itu dan 10
tahun ke depan belum ada TKI dan TKW. Memang waktu itu Indonesia jauh lebih
maju.
Yosman memperhatikan
Malaysia tampaknya sedang
membangun sumber manusianya. Banyak mahasiswa-mahasiswa Malaysia yang belajar
di berbagai Universitas di Indonesia. Akademi Pelayaran hanya ada Indonesia.
Jadi kapten-kapten kapal seusianya
hampir semuanya dari AIP Indonesia. Boleh dikatakan Malaysia sedang gencarnya
membangun manusianya. Mahasiswanya diberikan bea siswa untuk meneruskan
pendidikan di luar negeri termasuk ke Indonesia. UI, GAMA, Unpad, ITB dan IPB
adalah pilihan utama mereka selain pendidikan tinggi Indonesia lainnya. Untuk
pendidikan agama mereka mengirimkan mahasiswanya ke Mesir, Madinah dan IAIN,
termasuklah pada angkatannya
di PTIQ ada dua orang mahasiswa Malaysia belajar di PTIQ. Mereka diberi bea
siswa penuh. Rata-rata bea siswanya cukup mewah sehingga mereka bisa memiliki
kendaraan motor seperti halnya yang ia
lihat
mahasiswa Malaysia di PTIQ.
Karena kehidupan mereka selama
pendidikan cukup sejahtera, menjadikan mereka pria pilihan wanita. Banyak di antara
mereka selain meraih ijazah sarjana, juga meraih buku nikah termasuklah salah
seorang alumni PTIQ asal Malaysia, selesai sarjana muda terus kembali ke
Malaysia sambil memboyong gadis Bogor. Sehingga di Malaysia ada organisasi
PAPTI (Persatuan Alumni Perguruan Tinggi Indonesia), anggotanya ada yang
menjadi Menteri di Kabinet Malaysia dan pintar bahasa Jawa. Seperti dikatakan
tadi bahwa Malaysia gencar membangun sumber manusianya sehingga para Alumni
Institut Pertanian Bogor asal Malaysia dan dibantu oleh para dosen-dosen IPB
mereka mendirikan Universiti Pertanian Malaysia (UPM) di daerah Serdang,
Selangor. Mereka mempunyai area yang
sangat luas dan tersusun rapi lengkap dengan hotel berbintang empat.
Di Malaysia, Yosman menetap di rumah yang ada tali
persaudaraan dan mereka jugalah yang menawarkan untuk datang ke Malaysia.
Beliau seorang pakar mata dan terakhir beliau menjadi seorang dosen. Dua orang
anaknya mengikut jejak menjadi dokter pakar mata. Salah seorangnya punya klinik
pakar mata sendiri.
Dari kalangan
rekan-rekan keluarga, Yosman mendapat
informasi bahwa untuk menjadi tenaga pengajar seseorang itu akan diteliti latar
belakang pendidikan dan fahaman yang dianutnya. Kebanyakan tenaga pengajar
bidang agama, banyak diisi oleh graduan (Alumni) dari Timur Tengah. Untuk
menjadi seorang pendakwah perlu punya sijil dan sertifikat yang dikeluarkan
oleh Jabatan Agama Islam, selain seseorang itu harus punya permanent residence
yang dikeluarkan oleh Jabatan Pendaftaran setelah dipersetujui oleh Jabatan
Imigrasi dengan cap di dalam paspor. Terasa
agak rumit dengan prosedur yang harus ditempuh, maka terpikir
juga membuat usaha-usaha sendiri semacam UKM di Indonesia, namun itu pun
tersangkut dengan izin tinggal, karena visanya masih dalam status pelancong. Untunglah
ada kalangan keluarga mengajak bekerja dengannya meskipun seharusnya musti ada
permit kerja.
Setelah beberapa kali
memperpanjang visa izin menetap, petugas imigrasi Malaysia menyarankan
sebaiknya Yosman
memohon "Permit Masuk". Dengan dikeluarkannya Permit Masuk tersebut
maka akan dikeluarkanlah kartu Penduduk Tetap yang dikenal dengan
"IC" Identity Card berwarna merah. Kalau sudah memiliki IC
tersebut, kita bisa menikmati fasilitas-fasilitas perobatan, membuat izin usaha
dan lainnya; yang tidak boleh hanyalah Memilih dan Dipilih, karena status kita
masih warga negara asing.
Waktu terus berjalan
dan sekali waktu main-main ke KBRI, karena di sana ada juga kalangan keluarga
bekerja. Ada waktu kosong Yosman
main ke KBRI dan sering diundang bila ada kegiatan kemasyarakatan. Suatu hari
ketika berkunjung ke KBRI, ia
melihat
ada kesibukan. Ada beberapa staf yang ia kenal juga sedang aktif dengan kegiatan
masing-masing. Sembari menyapa, Yosman
bertanya, "Ada apaan nich sibuk banget ?". Teman itu menjawab : "Di KBRI akan
diadakan Penataran P-4". Kemudian
dia menawarkan kalau ia mau
ikut serta membantu, silakan masuk
membantu tugas Sekretariat. Yosman
tertarik dengan tawaran tersebut. Ia kembali pulang dan terus minta izin
majikan yang juga masih keluarga dan mereka tidak keberatan.
Hari berikutnya Yosman ke KBRI dan menyatakan kesediaan
untuk membantu di Sekretariat. Hari itu
juga ia
sudah diberikan tugas mempersiapkan ruang penataran dan persiapan lainnya serta
menyusun persiapan makalah-makalah untuk
penataran. Beberapa hari kemudian Team Penatar sudah datang ke KBRI dan terus
mengadakan rapat kecil, ia
diperkenalkan
dengan Ketua dan Anggota Team. Keesokan harinya Team Penataran mengadakan rapat
dengan para diplomat KBRI yang dipimpin langsung oleh Duta Besar yang waktu itu
Letjen (P) Rais Abin. Ia merasa
tersanjung baru beberapa hari sudah ikut rapat bersama Dubes dan para diplomat
lainnya. Peserta penataran selain para
diplomat dan staf KBRI, juga diikuti oleh para ekspatriat tokoh masyarakat. Penataran
berlangsung beberapa hari sampailah
berakhir. Pada pelaksanaan penataran ia
ditugaskan membagi bagikan makalah dan membantu keperluan peserta dengan
tersenyum dan menyapa mereka dengan ramah.
Setelah penataran usai,
Yosman beberapa hari masih bekerja
memberes-bereskan Sekretariat dan ada di antara peserta yang juga seorang
diplomat KBRI meliriknya
dan nyeletuk,
"Kamu bekerja di sini sajalah." (maksudnya KBRI). Hal itu didengar
oleh Ketua Sekretariat yang juga Pegawai Tetap KBRI. Merasa dirinya bekerja cukup bagus lalu beliau
menyarankan kepadanya
untuk berjumpa Atase Administrasi yang juga peserta penataran. Yosman memasuki ruang Atase Adminitrasi
dan disambut hangat, maklum beliau kenal masa penataran. Beliau yang memulai
pembicaraan menanyakan keinginannya
bekerja, Yosman menjawab
"ya". Kemudian ia
disuruh
menemui Kepala Bidang Penerangan karena bidang tersebut banyak pekerjaan dan memerlukan tambahan Staf.
Alhamdulillah, Yosman diterima dengan status percobaan.
Setelah masa percobaan dua bulan bekerja dengan gaji 70% ia dipanggil lagi oleh Atase Administrasi
melengkapi persyaratan sebagai staf tetap KBRI. Ditanyakan, “Kamu lulusan apa?” Yosman menjawab Sarjana Lengkap
(Drs) Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran Jakarta. Beliau kelihatan heran juga
mendengarnya, tetapi atas dasar nota dukungan Kepala Bidang Penerangan (atasannya) tanpa banyak cerita Yosman langsung diangkat pegawai tetap
KBRI Kuala Lumpur dengan basic Sarjana Lengkap tanpa mempersoalkan
kelulusan dari mana. Alhamdulillah. Bidang Penerangan ini selain sebagai juru
bicara KBRI juga menangani media dan
BINMAS yang dikepalai seorang diplomat berpangkat Minister Counsellor.
Bidang ini juga menerbitkan bulletin bulanan berbahasa Indonesia dan Inggris.
(sekarang hanya berbahasa Indonesia) untuk komunitas Indonesia yang berisi
berita-berita
penting seputar Indonesia dan mensosialisasikan kebijakan Jakarta dan KBRI.
Yosman diminta menjadi juru foto resmi untuk
mendokumentasikan segala kegiatan KBRI dan mengisi gambar untuk bulletin. Ia diserahi membuat pilihan kamera yang
akan digunakan. Ia
mintakan saran di
kalangan wartawan foto untuk memilih kamera terbaik waktu itu, pilihannya adalah Nikon F3. Ia pun belajar menggunakannya dari toko
penjual. Tidak lama ia dapat menguasai
kamera ini. Mungkin karena nalurinya punya kelebihan melihat dengan
cepat moment dan saat-saat yang terbaik
untuk mengambil foto, hasil jepretannya
disenangi
atasannya
termasuk Dubes. Yosman
dibawa kemana-mana mendampingi Dubes dan tamu-tamu VVIP untuk mengadakan kunjungan resmi. Bila
ada kunjungan RI-1, ia ditempatkan
di Posisi Ring-1.
Begitulah, hampir 30 tahun Yosman bekerja di KBRI, tetap saja memegang
tustel atau kamera yang sudah menjadi hobby dan tidak pernah dimutasi hingga ia pensiun
pada tahun 2010 pada usia 58 tahun.
Malaysia, menurut Yosman, adalah sebuah Negara dengan
sistem Raja Berperlembagaan dengan kepala negaranya "Yang Di-Pertuan
Agong" yang juga sebagai pemimpin agama di Malaysia. Yang Di-Pertuan Agong
dipilih oleh Majelis Raja-raja dari 9 buah negeri (propinsi) yang mempunyai
Sultan/Raja yang akan memimpin selama lima tahun secara bergiliran.
Sedangkan kepala
pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri pemenang Pilihan Raya
(PEMILU) yang diadakan setiap lima tahun sekali. Seorang Perdana Menteri
haruslah seorang anggota parlemen yang menang pada Pilihan Raya di kawasan
pemilihannya. Seorang Perdana Menteri juga adalah seorang ketua partai dan juga
ketua partai koalisinya. Pemenang
Pilihan Raya selalunya partai-partai berkoalisi. Sesama partai yang tergabung
dalam koalisi tidak akan bertanding di tempat yang sama dan mereka akan
menggunakan logo atau lambang koalisinya bukan lambang partai. Lawannya adalah
partai-partai
lainnya. Selain itu juga ada calon bebas (yang tidak punya partai) tetapi
mereka akan meletakkan uang dg jumlah tertentu sebagai taruhan; kalau suaranya
tidak mencapai angka minimum, uang pertaruhannya akan hilang. Kepala
pemerintahan Malaysia di pusat adalah Perdana Menteri dan di negeri-negeri
(Propinsi) kepala pemerintahannya adalah Menteri Besar (negeri yang ada Raja)
dan Ketua Menteri (negeri yang tidak punya Raja) seperti Malaka, Pulau Pinang,
Sabah dan Sarawak. Hanya inilah pemimpin pusat dan di negeri-negeri yang
dimenangi lewat Pilihan Raya, pemimpin-pemimpin negeri bawah lainnya di
negeri-negeri adalah aparatur negara yang ditunjuk berdasarkan kelayakan dan
pangkat. Di Malaysia tidak ada yang namanya "Pilkada". Di Malaysia
wakil-wakil rakyatnya hanya ada di pusat dan di negeri2 disebut Dewan Undangan
Negeri (DUN) setingkat DPRD Tingkat1. Keputusan
Pilihan Raya sudah dapat diketahui paling lambat jam 10 malam atau lewat
sedikit.
Bila seseorang anggota
parlemen atau anggota DUN meninggal dunia, maka di kawasannya itu akan diadakan
lagi Pilihan Raya Kecil untuk memilih anggota parlemen yang baru. Untuk
diketahui jika terjadi keputusan Pilihan Raya partai memerintah sebelumnya
ternyata kalah oleh koalisi partai oposisi, maka pada saat itu juga kepala
pemerintahan di pusat maupun di negeri-negeri yang juga kalah, status mereka
langsung hilang dan tidak dibenarkan kembali ke kantornya semula. Kantor-kantor
mereka disegel tidak dibenarkan siapapun masuk dan tidak boleh secarikpun
dokumen-dokumen keluar. Hal ini terjadi pada Pilihan Raya tahun 2018, di mana
partai koalisi yang dipimpin Najib Razak kalah, dia tidak dibenarkan masuk, begitu
juga dengan kantor menteri-menterinya. Untuk diketahui partai-partai yang ingin
memenangi Pilihan Raya dan untuk meraup suara mayoritas, mau tidak mau musti
berkoalisi, begitu juga partai-partai oposisi akan berkoalisi juga untuk dapat
meraih suara mayoritas di Parlemen.
Untuk mengadakan
Pilihan Raya, waktu dan saatnya ditentukan sendiri oleh Perdana Menteri yang memerintah waktu itu. Bisa
saja dipercepat tetapi tidak boleh melebihi waktunya. Bila Perdana Menteri
sudah menghadap Yang Di-Pertuan Agong dan meminta perkenannya untuk membubarkan
parlemen, maka saat itulah Suruhanjaya Pilihan Raya (panitia pemilu) menentukan
kapan akan diadakan. (*)