Ali Zawawi



Drs. H. Ali Zawawi, SQ, MA adalah pria multitalenta kelahiran Demak, Jawa Tengah, 28 Juli 1960. Ketekunannya membaca buku bukan hanya menghasilkan berbagai karya tulis dan terjemahan. Entah bagaimana ceritanya, aktivis civil society ini juga menguasai desain grafis dan komunikasi visual berbasis image dan warna. Dari tangannya, lahir banyak sekali karya grafis yang indah dan efektif untuk buku, flyer dan terbitan lainnya.

Ali Zawawi masuk PTIQ di Fakultas Syari’ah Ahwal As-Syakhsiyah pada 1984. Dia menyelesaikan papernya berjudul “Perkawinan Antar Agama menurut Hukum Islam dan UU No. 1/1974” pada 1988 untuk meraih gelar Sarjana Muda (Bachelor of Art/ BA). Tidak berhenti di situ. Dia menyempurnakan menyelesaikan ujian hafalan Al-Qur’an 30 Juz di PTIQ sekaligus kesarjanaannya pada 1991 dengan skripsi berjudul “Berijtihad dan Problematikanya dalam Hukum Islam”. Tidak puas dengan gelar sarjana, dia pun melanjutkan jenjang pendidikan pascasarjana Kajian Politik Islam atau Fiqh Siyasah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga melahirkan tesis berjudul, “Pemberhentian Kepala Negara dalam Teori Politik Islam (Studi Kasus Impeachment Presiden RI)” pada 2008. Hingga 2023, dia masih dalam proses menyelesaikan disertasi Tafsir Al-Qur’annya di Universitas PTIQ Jakarta.

Kiprah alumni Pondok Pesantren Al-Ma'ruf Bandungsari, Grobogan, Jawa Tengah, ini tidak sepele. Ali Zawawi, meski bukan pejabat negara, telah berkiprah di tiga kamar negara, eksekutif, legislatif, dan yudikatif, selain aktif di ranah civil society. Selama periode 2014-2019, dia berkantor di Kementerian Agama RI sebagai Staf Khusus Menteri Agama RI. Berbagai urusan di kementerian ini menjadi tanggung jawabnya, termasuk urusan MTQ, yang menjadi ciri keakraban para alumni PTIQ.

Sebelum di kamar eksekutif mengawal kebijakan Menteri Agama, Ali Zawawi adalah seorang Staf Ahli Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI asal Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sejak awal tahun 2000-an, dia memang aktif di partai berlambang Ka’bah ini. Di samping sebagai salah satu pengurus di Dewan Pimpinan Pusat PPP, dia bekerja sebagai Tenaga Ahli Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI /Koordinator Ekonomi dan Keuangan (Korekku) dari Fraksi Persatuan Pembangunan. Dan pada periode 2004-2009, dia menjadi Staf Ahli Fraksi PPP di MPR RI.

Kemampuan Ali Zawawi dalam mengelola dunia penerbitan membuat Mahkamah Konstitusi (MK) RI, yang saat itu baru dibentuk, meliriknya sebagai Redaktur medianya hingga 2006. Dia menjadi salah satu tim perintis penerbitan di MK RI, yang kini sangat maju. Bukan hanya dalam bentuk jurnal, tetapi juga majalah, dan website. Pengalaman di dunia penerbitan ini sudah digelutinya sejak mahasiswa, hingga diangkat menjadi Kepala Divisi Penerbitan oleh Lajnah Ta’lif wa Nasr (LTN) PBNU pada 1989, yang menerbitkan tabloid "Warta NU" pada era kepemimpinan Gus Dur Ketua Umum PBNU.

Dunia tulis-menulis dan penerbitan, baik buku maupun jurnal, benar-benar menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Ali Zawawi. Ada lusinan buku yang lahir dari tangannya. Dia bukan sekadar sebagai tim untuk mengelola agar lahir suatu buku, dia juga menulis, mengedit, dan menerjemahkan. Sejak 1986, dia mendapat bagian untuk menulis “Materi Dakwah Terurai” dari Koordinasi Dakwah Islam (KODI) DKI Jakarta. Di PTIQ sendiri dia menghasilkan buku “Manusia Pembangunan dalam Al-Qur’an” diterbitkan PTIQ pada 1987 dan bersama teman-temannya menulis buku “Kaidah Bacaan al-Qur’an dengan Qiraat Tujuh” pada 1991. Menjelang runtuhnya rezim orde baru, buku Isyarat Al-Quran tentang Krisis Sosial, Ekonomi dan Politik diterbitkan dari kumpulan tulisannya yang dimuat di harian Pelita. Penerbitnya Gema Insani Press, Jakarta.

Kemampuan bahasa Arabnya yang dia tekuni sejak di pondok pesantren, membuatnya tertarik untuk menerjemahkan buku-buku penting dalam kajian keislaman. Buku-buku tersebut, antara lain: “Ushul Fiqih” karya Prof. Muhammad Abu Zahrah, pada 2002;  “Zakat dalam Perspektif Sosial”, dari judul asli Az-Zakat wa Falsafatuha, karya Prof. Muhammad Abu Zahrah,  pada1995; dan buku “Manusia dalam Perspektif al-Quran”, dari judul asli Maqal fi al-Insan, Dirasah Quraniah karya Dr. Aisyah Bintu Syati, 1999 dan dicetak lagi pada 2003. Semua diterbitkan Pustaka Firdaus, Jakarta.

Beberapa buku karya Ali Zawawi, baik ditulis sendiri maupun bersama-sama, yang khas adalah berupa karya biografi para tokoh. Setelah sukses menerbitkan “Karisma Ulama, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU” bersama teman-temannya, karya-karya biografi per tokoh terus mengalir. Di antaranya, KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Idham Cholid, KH. Muhammad Ilyas, Ny.Hj. Solichah Wahid Hasyim, Fahmi D. Saifuddin, Said Budairy, dan terakhir KH. Salahuddin Wahid. Selain itu, juga ada profil lembaga, seperti Muslimat NU, MPR, DPR, dan lain-lain.

Memang, sejak di pesantren Ali Zawawi tergolong orang tidak bisa “diam”. Keramahan dan kecerdasannya membuat dia mudah bergaul dan dapat diterima banyak orang. Pada 1980, dia dipilih teman-teman santrinya sebagai lurah pondok pesantren. Begitu dia masuk PTIQ, sahabat-sahabatnya mengangkatnya sebagai Ketua Komisariat Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada 1985. Habis masa jabatannya sebagai Ketua PMII, teman-temannya di PTIQ dan IIQ yang berasal dari Jawa Tengah langsung mengangkatnya menjadi Ketua Jam’iyyah Hafadzah Al-Qur’an (JHQ) pada 1987. Pada saat yang sama, pengurus Senat Mahasiswa PTIQ pun menunjuknya sebagai Sekretaris Senat Mahasiswa. Bahkan, pada tahun yang sama, dia juga terpilih sebagai Sekretaris Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU).

Selain menjadi aktivis di organisasi kemahasiswaan, Ali Zawawi juga banyak berkiprah di lembaga swadaya masyarakat (civil society). Beberapa lembaga yang pernah dia ikuti antara lain, Yayasan Saifuddin Zuhri, Yayasan Forum Indonesia Satu, dan Yayasan Agribisnis Indonesia.

Sebagai alumni PTIQ, pengabdian Ali Zawawi untuk alamaternya juga tidak terlupakan. Selain pernah sebagai tenaga pengajar atau dosen di Fakultas Syari'ah, dia juga yang mengawal penerbitan buku dan jurnal al-Burhan, Jurnal Kajian Budaya al-Quran, selama 10 tahun, yakni pada 1995 sampai 2005. 


Karya-karya Publikasinya

1.     Penulis, buku “Materi Dakwah Terurai”, Jilid V, (Jakarta: Kodi DKI Jakarta, 1986)

2.     Penulis, buku “Manusia Pembangunan dalam al-Qur’an”, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an, 1987)

3.     Penulis, dkk., buku “Kaidah Bacaan al-Qur’an dengan Qiraat Tujuh”, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran, 1991)

4.     Penulis, dkk., buku “Karisma Ulama, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU”, (Bandung: Mizan, 1998)

5.     Penulis, buku “Penjelasan al-Qur’an tentang Krisis Sosial, Ekonomi dan Politik”, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999)

6.     Penulis, Biografi “KH. Abdul Wahab Chasbullah: Perintis, Pendiri dan Penggerak NU”, (Jakarta: Panitia Penulisan Buku Sejarah KH. Abdul Wahab Chasbulah, 1999)

7.     Penerjemah, buku “Ushul Fiqih”, dari judul asli Ilmu Ushul al-Fiqh, karya Prof. Muhammad Abu Zahrah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet-1 1994, Cet-6 2002).

8.     Penerjemah, buku “Zakat dalam Perspektif Sosial”, dari judul asli Az-Zakat wa Falsafatuha, karya Prof. Muham mad Abu Zahrah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995)

9.     Penerjemah, buku “Manusia dalam Perspektif al-Quran”, dari judul asli Maqal fi al-Insan, Dirasah Quraniah karya Dr. Aisyah Bintu Syati, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Pertama 1999, Cetakan Kedua 2003)

10.  Editor, dkk, buku “Pembangunan Nasional untuk Kesejahteraan Rakyat”, (Jakarta: Kantor Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 1993)

11.  Editor, buku “50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama, Negara dan Bangsa”, (Jakarta: Pucuk Pimpinan Muslimat Nahdlatul Ulama, 1996)

12.  Editor, buku “SU MPR RI 1999 Memilih Gus Dur Menjadi Presiden”, (Jakarta: Georai Pratama Press dan Forum Indonesia Satu (FIS), 2000)

13.  Editor, dkk., “Hj. Solichah Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan”, (Jakarta: Yayasan wahid Hasyim, 2001)

14.  Penulis, dkk., Fahmi D. Saifuddin: Dokter NU itu…, (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, Cet. 1, Juni 2002).

15.  Editor, buku “Alam Pikiran KH. Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan, Asal Usul Dua Kutub Gerakan Islam di Indonesia”, (Jakarta: Balai Kajian Tafsir al-Quran Pase, 2003).

16.  Editor, buku “Karir Politik Anak Desa: Biografi Tosari Widjaja”, (Jakarta: Forum Indonesia Satu, FIS, 2004).

17.  Penyunting, buku “Jejak Langkah MPR dalam Era Reformasi, Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas dan Wewenang MPR RI Periode 1999-1004”, (Jakarta: Setjen MPR RI, 2004)

18.  Penyunting, buku “Profil Anggota Dewan Perwakilan Daerah 2004-2009”, (Jakarta: Setjen MPR RI dan International IDEA, 2004).

19.  Penulis, dkk., “Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah”, (Jakarta: FIS, Cet-1 Januari 2008).

20.  Editor, buku “Dari Pesantren untuk Bangsa: Biografi KH. Muhammad Ilyas”, (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, Cet-1, Maret 2009).

21.  Editor, buku “Membangun Fondasi Rumah Indonesia: Jejak Langkah Politik Amar Makruf Nahi Mungkar Fraksi PPP MPR RI 1972-2009”, (Jakarta: Fraksi PPP MPR RI, Cet-1 September 2009).

22.  Penulis, dkk., Muhammad Said Budairy: Wartawan NU itu…., (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, Cet. 1, 2010).

23.  Pengarah, Tuntunan Manasik Haji dan Umrah, Edisi Yang Disempurnakan, (Jakarta: Kemenag RI, 2018)

24.  Penulis, dkk, Kiprah Para Menteri Agama Era Reformasi, (Jakarta: Kemenag RI, 2019).

25.  Penulis, dkk, Gus Solah Sang Arsitek Pemersatu Umat, 2021.

26. Pembaca Ahli, Pedoman Memahami Nilai-nilai ke-ALHAMIDIYAH-an Inspirasi Ilmu K.H. Achmad Sjaichu, 2023.

JURAIDI

 


Dr. H. JURAIDI, SQ, MA atau Juraidi Malkan sangat mencitai PTIQ. Terbukti dia menempuh pendidikan tinggi dari tingkat sarjana muda sampai doktoral di PTIQ Jakarta. Pria kelahiran Banjarmasin 20 Desember 1962, masuk PTIQ 1981 untuk program sarjana muda dan menyelesaikan program sarjana fakultas ushuluddin jurusan dakwah tahfizh penuh 30 juz pada 1985.
 Saat PTIQ mendirikan program pascasarjana program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada 2001, dia pun segera mendaftar dan lulus pada 2004. Begitu juga ketika PTIQ membuka program doktoral untuk bidang studi Ilmu Tafsir, dia pun langsung masuk sebagai mahasiswanya, pada tahun 2011 dan lulus pada 2014 dengan memertahankan disertasinya yang berjudul “Perbudakan Modern dalam Perspektif Al-Quran”. Sosok ini dapat dibilang sebagai alumni PTIQ 24 karat.

Meski meniti karir di birokrasi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Departemen Agama RI, sekarang Kementerian Agama RI, sejak 1989 hingga jabatan tertinggi sebagai Direktur Penerangan Islam, Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam menjelang pensiunnya, Juraidi tetap lekat dengan PTIQ, almamaternya. 

Di sela-sela menjalankan tugasnya sebagai aparatur sipil negara di Kemenag, dia merelakan waktunya untuk mengajar di PTIQ secara ikhlas. Karir pekerjaannya tergolong cukup moncer. Dia meniti karirnya sebagai PNS dari staf, eselon IV, III, dan II. Dia pernah menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Pemberdayaan Lembaga Zakat, kemudian Direktur Urusan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama Republik Indonesia (2017-2019), Direktur Penerangan Agama Islam (2019-2021), dan akhirnya kembali mengabdi ke Universitas PTIQ sebagai dosen DPK sejak 2022.

 Sebagai alumni PTIQ, peran dan aktivitas Juraidi di bidang keagamaan, khususnya di bidang kealquranan tidak diragukan lagi. Dia tidak sekadar hafal Al-Qur’an 30 juz, dia juga memiliki suara yang bagus (dzawil ashwat). Sejak Madrasah Aliyah, dia sudah menjadi Ketua OSIS di MAN Palangkaraya, 1980. 

Begitu juga pada saat masuk PTIQ, dia tergolong aktif dalam berbagai organisasi, baik di internal kampus maupun eksternal kampus. Sebagai mahasiswa dan alumni PTIQ, dia tidak ketinggalan dalam kegiatan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), hingga menjadi peserta MTQ tingkat nasional. Karirnya di MTQ mengantarkannya menjadi hakim MTQ tingkat daerah, nasional, dan regional. Tidak mengherankan, sejak mahasiswa sudah memiliki jiwa sosial keagamaan yang kuat.

Juraidi mengakui bahwa PTIQ berkontribusi besar dalam membentuk dirinya dalam berkhidmat kepada agama, bangsa dan negara. Selain sebagai aparatur pemerintah di Kemenag, dia banyak berkiprah di organisasi-organisasi keagamaan dan kealquranan, di tingkat lokal hingga nasional. 

Dia pernah menjadi Wakil Ketua Himpunan Qari-Qariah Kalimantan (HIQKAL),  Wakil Sekretaris Ikatan Persaudaraan Qari-Qariah Hafizh-Hafizhah (IPQAH) Nasional, Wakil Ketua Ittihad Persaudaraan Imam Masjid (IPIM) Nasional, Wakil Ketua III Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Pusat, dan Sekretaris Umum LPTQ Nasional pada 2018. Organisasi-organisasi tersebut merupakan organisasi yang sangat akrab dengan kehidupan dan kompetensi para mahasiswa dan alumni PTIQ.

Selain itu, di tengah-tengah masyarakat, Juraidi juga aktif di berbagai yayasan sosial keagamaan dan kemasyarakatan. Selain menjadi pembina Yayasan Al-Khairiyah, dia juga menjadi pelopor untuk mendirikan Yayasan Perguruan Islam Al-Fajar, Bekasi dan SMA Dwi Warna, Parung. Pada saat wabah pandemik covid-19 terjadi, dia menggagas santunan bagi para ustadz dan guru ngaji dengan menggandeng BAZNAS dan BPKH. Bersama Baznas, ada 1.000 orang yang disantuni. Dan bersama BPKH berhasil menjangkau 3.000 orang se-Indonesia.

Saat covid-19 merajalela, saat itu bulan Ramadan 1440 H/2020, Juraidi juga menyelenggarakan MTQ Nasional secara online bekerjasama dengan televisi INDOSIAR selama sebulan penuh. Acara INDONESIA MENGAJI "Ramadhan di Rumah Saja" itu disambut baik masyarakat luas. Sebab, saat itu, masyarakat tidak bisa berkegiatan akibat pandemi covid-19. Di tengah cekaman virus ganas itu, justru gema Al-Quran berkumandang melalui media televisi, dan merupakan MTQ online pertama kali di Indonesia.

Tidak hanya aktif secara praktis dalam kehidupan sosial keagamaan, Juraidi juga cukup produktif menuliskan pengetahuan dan gagasannya. Di antara karya-karya yang diterbitkan adalah “Perbudakan dalam Perspektif Al-Quran” Tahun 1998, Bina Rena Pariwara, Jakarta; “Petunjuk Merawat Jenazah & Shalat Jenazah” Tahun 2007, Kalam Indonesia; “Khatam Al-Quran”, 2015. Dan tentu sebagai dosen DPK Universitas PTIQ, karya-karyanya masih akan terus mengalir.

“Ulumul-Quran, seperti tahsin, tahfizh, tafsir, dst, merupakan modal yang sangat berharga yang saya dapat di PTIQ, sehingga saya bisa berkiprah di masyarakat, dan di pemerintahan,” ungkap alumni PTIQ asal Kalimantan Selatan ini suatu ketika.

 

YOSMAN AMIRUDDIN



Drs. H. Yosman Amiruddin, SQ, lahir di Pekanbaru, 20 Agustus 1952. Sebelum kuliah di PTIQ Jakarta 1971, Yosman adalah mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Cabang Pekanbaru, Riau. Baru tiga bulan ia masuk kampus IAIN, tiba-tiba ia ditawari masuk kuliah di PTIQ Jakarta oleh pamannya, sebagai jatah Dewan Kurator. Ia menyambut tawaran itu dengan gembira karena dua alasan: Pertama, ia akan kuliah di Ibukota Jakarta yang pasti kampusnya mentereng. Kedua, ia akan naik pesawat yang pertama kali dalam hidupnya.

Pada hari yang telah ditentukan, sampailah Yoman di Jakarta dengan rasa penuh syukur. Dari bandara, ia dijemput dan menginap di rumah pamannya. Esok harinya, ia diantar pamannya ke kampus PTIQ di Pasar Jumat.

Sesampainya di kampus, Yosman terperangah. Bangunan bayangan yang dibuatnya dari Pekanbaru Riau dengan gambar yang mewah itu seketika bubar berantakan. Ia seperti orang bingung, ia seperti orang planga plongo, terheran-heran melihat keadaan kampus waktu itu. Kampus yang terletak di pinggiran kota Jakarta saat itu, ternyata tidak sementereng dalam imajinasinya.

Setelah diantar ke bagian administrasi untuk pendaftaran, pamannya pulang dan tinggallah ia sendiri dengan rasa gundah. Setelah resmi diterima, Yosman diberi selimut, sprei dan dibawa petugas ke asrama. Sekali lagi ia kaget, penerangan listrik saat itu masih menggunakan mesin diesel dan hanya akan dihidupkan menjelang waktu magrib dan dimatikan lagi setelah jam 22.00 WIB. Mulai saat itulah ia pasrah dan menerima apa saja yang akan diterima. Meski demikian, ia merasa terhibur karena ternyata di sana ia mendapatkan makanan bergizi dan pakaian yang dicucikan sampai diseterika setiap hari secara gratis.

Pada hari kedua, Yosman pergi ke Bagian Pengajaran. Di sana ia ditempatkan di Fakuktas Ushuluddin. Di sana juga ia memperoleh daftar pelajaran dan sekaligus buku-buku teksnya. Tentu saja ia menerima dengan senang hati. Meski semua mata kuliah dianggap biasa, namun ada yang agak janggal waktu itu adalah mata kuliah Tahfidz. Ia pun bertanya lebih detail mengenai Tahfidz ini. Rupanya mata kuliah ini adalah mata kuliah menghafal Quran, dimana setiap tahunnya harus menghafal enam juz. Mendapatkan penjelasan itu, ia terhenyak, apalagi ia datang terlambat dua bulan saat masuk kuliah. Ia harus mengejar hafalan empat surah, yaitu : Yaa Siin, Ad-Dukhaan, As-Sajadah dan Al-Mulk. Memang menghafal Quran waktu itu tidaklah sepopuler saat ini, ia sangat jarang mendengar orang hafal Quran. Mungkin karena ia lulusan PGA atau bukan santri dari pondok pesantren atau bukan juga dari kalangan keluarga alim ulama. Namun berkat dorongan dan harapan orang tuanya, ia berusaha menjalani semua proses pembelajaran di PTIQ dengan penuh semangat.

Hari-hari pertama di PTIQ dilalui Yosman dengan linangan air mata karena beratnya pelajaran yang dihadapinya. Perkuliahan dilaksanakan sehari penuh, mulai pagi, sore, hingga malam hari. Tidak ada baginya kesempatan untuk tidur siang. Namun ia merasa sangat beruntung karena mempunyai banyak teman yang memberikan dorongan, semangat dan motivasi, meski sebagian mereka juga memiliki pengalaman yang hampir sama dengannya.

Beberapa hari di asrama, Yosman terpaksa harus membeli lampu teplok sebagaimana teman-temannya yang lain. Lampu teplok ini akan dinyalakan apabila mesin diesel listrik telah dimatikan untuk melanjutkan belajar. Waktu untuk belajar dan menghafal al-Quran yang disediakan dengan lampu penerangan listrik diesel tidaklah cukup jika hanya sampai pukul 22.00 WIB, lagi pula suara mesin diesel berisik sekali.

Setiap pagi sebelum sarapan, Yosman dan teman-temannya mengikuti senam yang dipimpin oleh bapak Syarifuddin. Mereka dibawa ke komplek Batan. Suasana pagi di sana udaranya segar dan sejuk, rumah-rumah di sekitar kampus sampai ke Batan dan kawasan Lebak Bulus masih rumah-rumah kampung. Masih ada kebun,  pohon duren juga banyak waktu itu.

Setelah setahun berjalan, pada tahun 1972 terjadilah krisis di PTIQ seiring dengan pergantian Menteri Agama dari KH. Moh. Dahlan kepada Menteri Agama yang baru Dr. KH. Mukti Ali. Sebelumnya, PTIQ berada di bawah pengelolaan Yayasan Ihya' Ulumuddin, yang didirikan pada masa Menteri Agama KH. Moh. Dahlan saat itu. Dengan digantinya Menteri Agama, Yayasan Ihya' Ulumuddin seperti "kehilangan" kekuatan untuk mengampu dan mendanai PTIQ. Apa sebabnya Yosman dan teman-temannya tidak tahu persis. Mungkin karena perbedaan kebijakan Mentri baru. Kemudian, muncullah Yayasan Pendidikan Al Qur'an (YPA) yang ada di bawah naungan Pertamina. Bapak Letjen Dr. Ibnu Sutowo sebagai Dirut Pertamina waktu itu sangat memperhatikan PTIQ. Beliau terus mengambil alih pengelolaan dan pendanaan PTIQ dan diangkatlah beliau sebagai Ketua Dewan Kurator, di antaranya Bapak Zainal Abidin yang sekarang masih ada.

Sejak itulah tanpa Yosman dan mahasiswa PTIQ lainnya menyadari bahwa mereka mempunyai orangtua baru, yaitu para petinggi Pertamina dan konglomerat-konglomerat rekanan Pertamina. Kesadaran ini mereka rasakan pada awalnya saat ada acara selamatan di rumah bapak Ibnu Sutowo yang dihadiri oleh para petinggi dan kolega Pertamina. Para mahasiswa PTIQ semua diundang untuk membaca doa selamatan. Peristiwa ini mendapat perhatian para undangan yang hadir. Sejak itulah bila ada acara selamatan di mana saja, mereka diundang, sampai peresmian Hotel Hilton di Senayan pun mereka juga diundang. Sejak itu hampir setiap bulan mereka mendapat undangan dan sudah pasti ada saja oleh-oleh dan bingkisan yang mereka bawa pulang dan tak ketinggalan amplopnya.

YPA ini luar biasa. Kehidupan para mahasiswa PTIQ terasa lebih mewah, beberapa kali mereka dibawa berwisata ke Cipanas, Cibodas, Puncak dan Pantai Pelabuhan Ratu. Para mahasiswa tahun pertama, pada tahun 1973 dibawa keliling Pulau Jawa sampai ke Pulau Bali. Mereka dibawa dengan menggunakan bus Pertamina, sebuah perjalanan yang mengasyikan.

Pada tahun 1975, sewaktu MTQ tingkat nasional di Palembang, para mahasiswa PTIQ angkatan tahun 1971 dengan inisiatif sendiri mencari dana untuk dapat menghadiri MTQ di Palembang. Mereka membuat kertas kerja (proposal) dengan persetujuan Rektor PTIQ lengkap dengan rincian biaya transportasi, konsumsi, penginapan dan lain-lain. Setelah itu mereka mengajukan kepada kalangan anggota Dewan Kurator. Baru pertama mereka ajukan yaitu kepada Bapak Syaiful, beliau membaca dengan teliti sambil manggut-manggut, kemudian beliau menarik pulpen dari saku bajunya dan tanpa mereka duga beliau melingkari dan menandatangani jumlah keseluruhan biaya yang mereka ajukan dengan penanya. Para mahasiswa yang melihatnya langsung memanjatkan syukur dan sangat terharu, karena biaya yang sangat besar pada waktu itu bila hanya ditanggung oleh satu orang. Alhamdulillah, Yosman dan teman-temannya tidak lagi mengajukan kepada yang lainnya. Hal itu mereka laporkan kepada Ketua Yayasan serta menfinformasikan tentang hari keberangkatan mereka.

Beberapa hari setelah itu, tanpa Yosman dan teman-temannya duga, Yayasan memberitahu bahwa sesampainya di stasiun kereta api di Palembang, para mahasiswa PTIQ akan dijemput oleh bus Pertamina dan akan dibawa ke guest house Pertamina di Plaju. Di sana mereka menginap selama di Palembang berikut dengan angkutan busnya. Dapat dibayangkan berapa banyak kelebihan uang anggaran dari pak Syaiful karena sebagian item anggaran sudah ditutup oleh Pertamina Plaju. Alhamdulillah tidak putus-putusnya mereka bersyukur ke hadhirat Allah.

Yosman menjalani perkuliahan di PTIQ dengan penuh suka dan duka. Ia tidak dapat membayangkan sebelumnya, meski hanya jebolan PGA, namun ia harus menghadapi pelajaran perkuliahan dengan membaca kitab Arab gundul dan menghafal Al-Quran. Orang tua dan keluarga Yosman terus mendukung dan menguatkan dirinya agar membulatkan tekad dan bekerja keras untuk terus maju. Ujian pada tingkat lima (kalau sekarang istilahnya Semester Akhir) dengan beberapa mata kuliah yang her (ujian ulang), Alhamdulillah dapat ia selesaikan. Akan tetapi dengan mata kuliah Tahfidz yang harus diselesaikan secara lisan, Yosman harus menghabiskan banyak waktu. Pada masa yang sama, para mahasiswa PTIQ angkatan '71 sudah harus hengkang dari asrama di Pasar Jumat, karena mahasiswa baru bertambah terus. Mereka yang masih tertinggal 12 orang  disediakan rumah kayu dua kamar berlokasi di Kampung Utan Ciputat, persis di belakang IIQ dan tanah pondoknya pun tanah untuk IIQ juga. Makanan harian mereka disuplai dari IIQ. Hampir setahun Yosman menyelesaikan ujian Tahfidz langsung kepada guru besar Syekh Abdul Qadir. Akhirnya, perjuangan Yosman selesai dan pindah tempat tinggal di rumah Pamannya.

Yosman masih teringat Prof. Ibrahim Hossen pernah mengatakan bahwa PTIQ tidak mencetak lulusan  untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS). Perkataan itu terus terngiang di telinganya. Pada waktu itu sedang ada trend para mahasiswa PTIQ mengambil ujian untuk mendapatkan sarjana muda di IAIN, dengan modal Ijazah IAIN tentu bisa melanjutkan kuliah dimana saja. Tetapi ia tidak ikut ujian persamaan di IAIN. Untuk diketahui, ijazah PTIQ belum diakui oleh Departemen Agama dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya. Setelah selesai menjalani semua ujian di PTIQ dan dinyatakan lulus, Yosman berpikir mau melamar kerja di mana? Untuk berdagang tidak ada bakat, meski berdarah Minang. Nasib baik, ada relasi keluarganya mengajak bekerja. Sempat juga bekerja selama lima bulan dan namun ia merasa tidak ada masa depan. Ia mencoba melamar kerja pun tidak, mengingat ijazah yang dikantongi hanyalah dari PTIQ. Yosman sudah menyerah terlebih dahulu.

Mengingat belum ada kejelasan bila akan diadakannya wisuda, dan umurpun semakin bertambah tua, terpikirlah Yosman mencoba mengadu nasib di negara jiran Malaysia. Kebetulah di sana ia ada keluarga. Hubungan keluarga ini cukup erat karena bila mereka datang ke Jakarta, Yosmanlah yang sering menjadi pemandunya dan mereka sering juga mengajaknya untuk datang ke Kuala Lumpur. Teringat begitu, Yosman pun menghubungi mereka dan memberitahu hasratnya untuk mencoba nasib di sana. Keinginannya disambut baik, begitu juga dengan keluarga. Semua dokumen Yosman siapkan. Sebelum berangkat, ia membaca buku tentang Malaysia dan sejarahnya agar ia punya gambaran bagaimana kondisi Negara Malaysia yang akan ia kunjungi. Tanpa memikirkan hari untuk wisuda, Yosman terbang ke Malaysia dengan penuh harapan.

Bulan Nopember 1979 Yosman terbang ke Malaysia dari Pekanbaru ke Malaka. Pada waktu itu hubungan udara dari Indonesia ke Malaysia hanya tiga yaitu dari Jakarta ke Kuala Lumpur, dari Medan ke Kuala Lumpur dan dari Pekanbaru ke Malaka. Sesampainya di Malaka ia melihat suasana tak ubahnya seperti di Indonesia, baik orang-orangnya, kendaraannya, makanan-makanannya. Terasa beda bila ia melakukan pembayaran dengan mata uang lain yaitu Ringgit Malaysia. Dari Airport Malaka ia naik taxi ke Kuala Lumpur. Taxi antar kotanya menggunakan sedan Mercedes Benz bisa muat empat orang penumpang. Pembayarannya seperti naik travel di Indonesia, setiap penumpang dipungut bayaran dan di antar ke alamat masing-masing. Jarak Melaka - Kuala Lumpur 160 km. Waktu itu di Malaysia belum ada jalan tol, tapi jalannya lebar dan mulus.

Sepanjang perjalanan selama dua jam, mulailah muncul pertanyaan di benak Yosman, kira-kira apa yang akan ia lakukan di Malaysia nanti. Kiri kanan jalan banyak perkampungan dan kebun karet, kelapa sawit belum populer waktu itu. Memasuki kota Kuala Lumpur tidak terlihat bangunan-bangunan pencakar langit dan modern. Padahal waktu itu di Jakarta sudah ada bangunan-bangunan tinggi dan sudah mempunyai jalan tol Jakarta-Ciawi. Pokoknya Jakarta jauh lebih maju dan canggih dibandingkan Kuala Lumpur. Pada waktu itu ia merasa bangga menjadi orang Indonesia, karena waktu itu WNI yang berada di Malaysia adalah kalangan elit, seperti para guru, dosen dan dokter yang  waktu itu dibutuhkan Malaysia melalui program G to G. Jadi setiap orang Indonesia dihormati,  mereka panggil kita "Bapak" atau "ibuk" untuk wanita. Untuk bicara mereka berusaha menirukan logat Indonesia. Pada waktu itu film layar lebar dan film drama TV banyak berasal dari Indonesia. Penyanyi dan artis film Indonesia sangat mereka kenal. Kondisi Malaysia waktu itu dan 10 tahun ke depan belum ada TKI dan TKW. Memang waktu itu Indonesia jauh lebih maju.

Yosman memperhatikan Malaysia tampaknya sedang membangun sumber manusianya. Banyak mahasiswa-mahasiswa Malaysia yang belajar di berbagai Universitas di Indonesia. Akademi Pelayaran hanya ada Indonesia. Jadi kapten-kapten kapal seusianya hampir semuanya dari AIP Indonesia. Boleh dikatakan Malaysia sedang gencarnya membangun manusianya. Mahasiswanya diberikan bea siswa untuk meneruskan pendidikan di luar negeri termasuk ke Indonesia. UI, GAMA, Unpad, ITB dan IPB adalah pilihan utama mereka selain pendidikan tinggi Indonesia lainnya. Untuk pendidikan agama mereka mengirimkan mahasiswanya ke Mesir, Madinah dan IAIN, termasuklah pada angkatannya di PTIQ ada dua orang mahasiswa Malaysia belajar di PTIQ. Mereka diberi bea siswa penuh. Rata-rata bea siswanya cukup mewah sehingga mereka bisa memiliki kendaraan motor seperti halnya yang ia lihat mahasiswa Malaysia di PTIQ.

Karena kehidupan mereka selama pendidikan cukup sejahtera, menjadikan mereka pria pilihan wanita. Banyak di antara mereka selain meraih ijazah sarjana, juga meraih buku nikah termasuklah salah seorang alumni PTIQ asal Malaysia, selesai sarjana muda terus kembali ke Malaysia sambil memboyong gadis Bogor. Sehingga di Malaysia ada organisasi PAPTI (Persatuan Alumni Perguruan Tinggi Indonesia), anggotanya ada yang menjadi Menteri di Kabinet Malaysia dan pintar bahasa Jawa. Seperti dikatakan tadi bahwa Malaysia gencar membangun sumber manusianya sehingga para Alumni Institut Pertanian Bogor asal Malaysia dan dibantu oleh para dosen-dosen IPB mereka mendirikan Universiti Pertanian Malaysia (UPM) di daerah Serdang, Selangor.  Mereka mempunyai area yang sangat luas dan tersusun rapi lengkap dengan hotel berbintang empat.

Di Malaysia, Yosman menetap di rumah yang ada tali persaudaraan dan mereka jugalah yang menawarkan untuk datang ke Malaysia. Beliau seorang pakar mata dan terakhir beliau menjadi seorang dosen. Dua orang anaknya mengikut jejak menjadi dokter pakar mata. Salah seorangnya punya klinik pakar mata sendiri.

Dari kalangan rekan-rekan keluarga, Yosman mendapat informasi bahwa untuk menjadi tenaga pengajar seseorang itu akan diteliti latar belakang pendidikan dan fahaman yang dianutnya. Kebanyakan tenaga pengajar bidang agama, banyak diisi oleh graduan (Alumni) dari Timur Tengah. Untuk menjadi seorang pendakwah perlu punya sijil dan sertifikat yang dikeluarkan oleh Jabatan Agama Islam, selain seseorang itu harus punya permanent residence yang dikeluarkan oleh Jabatan Pendaftaran setelah dipersetujui oleh Jabatan Imigrasi dengan cap di dalam paspor.  Terasa agak rumit dengan prosedur yang harus ditempuh, maka  terpikir juga membuat usaha-usaha sendiri semacam UKM di Indonesia, namun itu pun tersangkut dengan izin tinggal, karena visanya masih dalam status pelancong. Untunglah ada kalangan keluarga mengajak bekerja dengannya meskipun seharusnya musti ada permit kerja.

Setelah beberapa kali memperpanjang visa izin menetap, petugas imigrasi Malaysia menyarankan sebaiknya Yosman memohon "Permit Masuk". Dengan dikeluarkannya Permit Masuk tersebut maka akan dikeluarkanlah kartu Penduduk Tetap yang dikenal dengan "IC" Identity Card berwarna merah. Kalau sudah memiliki IC tersebut, kita bisa menikmati fasilitas-fasilitas perobatan, membuat izin usaha dan lainnya; yang tidak boleh hanyalah Memilih dan Dipilih, karena status kita masih warga negara asing.

Waktu terus berjalan dan sekali waktu main-main ke KBRI, karena di sana ada juga kalangan keluarga bekerja. Ada waktu kosong Yosman main ke KBRI dan sering diundang bila ada kegiatan kemasyarakatan. Suatu hari ketika berkunjung ke KBRI, ia melihat ada kesibukan.  Ada beberapa staf yang ia kenal juga sedang aktif dengan kegiatan masing-masing.  Sembari menyapa, Yosman bertanya, "Ada apaan nich sibuk banget ?".  Teman itu menjawab : "Di KBRI akan diadakan Penataran P-4".  Kemudian dia menawarkan kalau ia mau ikut serta membantu, silakan  masuk membantu tugas Sekretariat. Yosman tertarik dengan tawaran tersebut.  Ia kembali pulang dan terus minta izin majikan yang juga masih keluarga dan mereka tidak keberatan.

Hari berikutnya Yosman ke KBRI dan menyatakan kesediaan untuk membantu di  Sekretariat. Hari itu juga ia sudah diberikan tugas mempersiapkan ruang penataran dan persiapan lainnya serta menyusun persiapan makalah-makalah  untuk penataran. Beberapa hari kemudian Team Penatar sudah datang ke KBRI dan terus mengadakan rapat kecil, ia diperkenalkan dengan Ketua dan Anggota Team. Keesokan harinya Team Penataran mengadakan rapat dengan para diplomat KBRI yang dipimpin langsung oleh Duta Besar yang waktu itu Letjen (P) Rais Abin. Ia merasa tersanjung baru beberapa hari sudah ikut rapat bersama Dubes dan para diplomat lainnya.  Peserta penataran selain para diplomat dan staf KBRI, juga diikuti oleh para ekspatriat tokoh masyarakat. Penataran berlangsung beberapa hari  sampailah berakhir. Pada pelaksanaan penataran ia ditugaskan membagi bagikan makalah dan membantu keperluan peserta dengan tersenyum dan menyapa mereka dengan ramah.  

Setelah penataran usai, Yosman beberapa hari masih bekerja memberes-bereskan Sekretariat dan ada di antara peserta yang juga seorang diplomat KBRI meliriknya dan nyeletuk, "Kamu bekerja di sini sajalah." (maksudnya KBRI). Hal itu didengar oleh Ketua Sekretariat yang juga Pegawai Tetap KBRI. Merasa dirinya bekerja cukup bagus lalu beliau menyarankan kepadanya untuk berjumpa Atase Administrasi yang juga peserta penataran. Yosman memasuki ruang Atase Adminitrasi dan disambut hangat, maklum beliau kenal masa penataran. Beliau yang memulai pembicaraan menanyakan keinginannya bekerja, Yosman menjawab "ya". Kemudian ia disuruh menemui Kepala Bidang Penerangan karena bidang tersebut banyak pekerjaan dan  memerlukan tambahan Staf.

Alhamdulillah, Yosman diterima dengan status percobaan. Setelah masa percobaan dua bulan bekerja dengan gaji 70% ia dipanggil lagi oleh Atase Administrasi melengkapi persyaratan sebagai staf tetap KBRI. Ditanyakan, “Kamu lulusan apa? Yosman menjawab Sarjana Lengkap (Drs) Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran Jakarta. Beliau kelihatan heran juga mendengarnya, tetapi atas dasar nota dukungan Kepala Bidang Penerangan (atasannya) tanpa banyak cerita Yosman langsung diangkat pegawai tetap KBRI Kuala Lumpur dengan basic Sarjana Lengkap tanpa mempersoalkan kelulusan dari mana. Alhamdulillah. Bidang Penerangan ini selain sebagai juru bicara KBRI juga menangani media dan  BINMAS yang dikepalai seorang diplomat berpangkat Minister Counsellor. Bidang ini juga menerbitkan bulletin bulanan berbahasa Indonesia dan Inggris. (sekarang hanya berbahasa Indonesia) untuk komunitas Indonesia yang berisi berita-berita penting seputar Indonesia dan mensosialisasikan kebijakan Jakarta dan KBRI.

Yosman diminta menjadi juru foto resmi untuk mendokumentasikan segala kegiatan KBRI dan mengisi gambar untuk bulletin. Ia diserahi membuat pilihan kamera yang akan digunakan. Ia mintakan saran di kalangan wartawan foto untuk memilih kamera terbaik waktu itu, pilihannya adalah Nikon F3. Ia pun belajar menggunakannya dari toko penjual. Tidak lama ia dapat menguasai kamera ini. Mungkin karena nalurinya punya kelebihan melihat dengan cepat moment  dan saat-saat yang terbaik untuk mengambil foto, hasil jepretannya disenangi atasannya termasuk Dubes. Yosman dibawa kemana-mana mendampingi Dubes dan tamu-tamu  VVIP untuk mengadakan kunjungan resmi. Bila ada kunjungan RI-1, ia ditempatkan di Posisi Ring-1.

Begitulah, hampir 30 tahun Yosman bekerja di KBRI, tetap saja memegang tustel atau kamera yang sudah menjadi hobby dan tidak pernah dimutasi hingga ia pensiun pada tahun 2010 pada usia 58 tahun.

Malaysia, menurut Yosman, adalah sebuah Negara dengan sistem Raja Berperlembagaan dengan kepala negaranya "Yang Di-Pertuan Agong" yang juga sebagai pemimpin agama di Malaysia. Yang Di-Pertuan Agong dipilih oleh Majelis Raja-raja dari 9 buah negeri (propinsi) yang mempunyai Sultan/Raja yang akan memimpin selama lima tahun secara bergiliran.

Sedangkan kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri pemenang Pilihan Raya (PEMILU) yang diadakan setiap lima tahun sekali. Seorang Perdana Menteri haruslah seorang anggota parlemen yang menang pada Pilihan Raya di kawasan pemilihannya. Seorang Perdana Menteri juga adalah seorang ketua partai dan juga ketua partai koalisinya.  Pemenang Pilihan Raya selalunya partai-partai berkoalisi. Sesama partai yang tergabung dalam koalisi tidak akan bertanding di tempat yang sama dan mereka akan menggunakan logo atau lambang koalisinya bukan lambang partai. Lawannya adalah partai-partai lainnya. Selain itu juga ada calon bebas (yang tidak punya partai) tetapi mereka akan meletakkan uang dg jumlah tertentu sebagai taruhan; kalau suaranya tidak mencapai angka minimum, uang pertaruhannya akan hilang. Kepala pemerintahan Malaysia di pusat adalah Perdana Menteri dan di negeri-negeri (Propinsi) kepala pemerintahannya adalah Menteri Besar (negeri yang ada Raja) dan Ketua Menteri (negeri yang tidak punya Raja) seperti Malaka, Pulau Pinang, Sabah dan Sarawak. Hanya inilah pemimpin pusat dan di negeri-negeri yang dimenangi lewat Pilihan Raya, pemimpin-pemimpin negeri bawah lainnya di negeri-negeri adalah aparatur negara yang ditunjuk berdasarkan kelayakan dan pangkat. Di Malaysia tidak ada yang namanya "Pilkada". Di Malaysia wakil-wakil rakyatnya hanya ada di pusat dan di negeri2 disebut Dewan Undangan Negeri (DUN) setingkat DPRD Tingkat1.  Keputusan Pilihan Raya sudah dapat diketahui paling lambat jam 10 malam atau lewat sedikit.

Bila seseorang anggota parlemen atau anggota DUN meninggal dunia, maka di kawasannya itu akan diadakan lagi Pilihan Raya Kecil untuk memilih anggota parlemen yang baru. Untuk diketahui jika terjadi keputusan Pilihan Raya partai memerintah sebelumnya ternyata kalah oleh koalisi partai oposisi, maka pada saat itu juga kepala pemerintahan di pusat maupun di negeri-negeri yang juga kalah, status mereka langsung hilang dan tidak dibenarkan kembali ke kantornya semula. Kantor-kantor mereka disegel tidak dibenarkan siapapun masuk dan tidak boleh secarikpun dokumen-dokumen keluar. Hal ini terjadi pada Pilihan Raya tahun 2018, di mana partai koalisi yang dipimpin Najib Razak kalah, dia tidak dibenarkan masuk, begitu juga dengan kantor menteri-menterinya. Untuk diketahui partai-partai yang ingin memenangi Pilihan Raya dan untuk meraup suara mayoritas, mau tidak mau musti berkoalisi, begitu juga partai-partai oposisi akan berkoalisi juga untuk dapat meraih suara mayoritas di Parlemen.

Untuk mengadakan Pilihan Raya, waktu dan saatnya ditentukan sendiri oleh Perdana Menteri yang memerintah waktu itu. Bisa saja dipercepat tetapi tidak boleh melebihi waktunya. Bila Perdana Menteri sudah menghadap Yang Di-Pertuan Agong dan meminta perkenannya untuk membubarkan parlemen, maka saat itulah Suruhanjaya Pilihan Raya (panitia pemilu) menentukan kapan akan diadakan. (*)


Cari Tokoh Di Sini

Popular Posts

Ali Zawawi

Drs. H. Ali Zawawi, SQ, MA adalah pria multitalenta kelahiran Demak, Jawa Tengah, 28 Juli 1960. Ketekunannya membaca buku bukan hanya mengha...

Contact

Nama

Email *

Pesan *